Tuesday, July 10, 2007

Relativitas Adi Purnomo

Buku ini adalah tentang pengendalian diri, kesederhanaan dan kerendahan hati. Pertanyaan terbesarnya adalah: seberapa cukupkah cukup itu. Ditulis oleh seorang arsitek yang dengan sadar memilih untuk menjalankan sebuah kantor kecil di kota yang mengutamakan kebesaran dan kemegahan, buku kecil oleh Adi Purnomo ini adalah sebuah kasus yang jarang terjadi di Indonesia dimana seorang arsitek merenungkan karya-karyanya sendiri dalam bentuk buku.
Kesederhanaan ini tercermin dalam desain bukunya. Hanya ada tiga warna dalam buku ini: hitam, putih, dan abu-abu. Sampul buku sepenuhnya hitam dengan judul kecil berwarna putih, sementara nama pengarangnya yang ditulis kecil dengan warna abu-abu hampir tidak terlihat sama sekali. Keserhanaan ini terus dibawa sampai ke setiap halaman dalam buku. Gambar ditampilkan dengan garis sederhana, dan foto ditampilkan hitam-putih.

Seekor Nyamuk di Permukaan Air
Dalam kata pengatarnya Adi Purnomo merenungkan pilihan prakteknya. Setelah bekerja di sebuah kantor besar di Singapura dari tahun 1998 sampai tahun 2000, Mamo, begitulah panggilannya, memutuskan kembali ke Indonesia untuk berpraktek sendiri. Dari awal Mamo mencoba untuk bekerja secara fleksibel agar ia bisa menjelajahi gagasannya tanpa dibatasi kesibukan menjalankan sebuah kantor besar. Kelihatannya kantor kecil dengan team yang ad-hoc dan fleksibel sesuai untuknya. "Kantor kecil itu seperti seekor nyamuk di permukaan air. Ia bisa menyentuhnya tanpa tenggelam" katanya.
Buku ini mendiskusikan dua puluh karya, baik yang masih berupa rancangan maupun yang sudah terbangun sepanjang tujuh tahun prakteknya. Proyek-proyek tersebut disusun ke dalam 8 bab yang membahas berbagai issue yang berkaitan dengannya seperti: praktek alternatif, rumah murah, ekologi, serta tentang tempat dan materialitas. Tapi jangan berharap menemukan kata-kata hebat dan jargon dalam buku ini. Mamo menuliskannya dalam gaya pribadi yang lugas. Seperti catatan lepas yang ditulis disela-sela praktek sehari-harinya.


Rumah Perkotaan dan Konteks Lingkungan
Karya-karya Mamo yang paling dikenal orang barangkali adalah rumah-rumah murah di perkotaannya, dimana ia bereksperimen dengan teknik membangun lokal dan bahan-bangunan yang murah dan biasa-biasa. Eksperimen ini dibahasnya di buku ini dengan panjang lebar. Lewat pendekatannya ini Mamo merancang beberapa rumah perkotaan yang menarik yang dibangun di atas lahan yang luasnya tidak lebih dari 150m2. Tiga diantaranya menerima hadiah IAI Award 2003. Rumah-rumah ini mencerminkan pergulatannya untuk mengeksplorasi ruang dan agenda ekologis dalam batasan biaya yang terjangkau oleh orang kebanyakan.
Bangunan dalam gambar site plan Mamo selalu ditunjukkan bersama-sama dengan lingkungannya. Mungkin ini menunjukkan sikapnya untuk selalu melihat bangunan dalam konteks lingkungan yang lebih luas. Rancangan gereja di Bintaro yang diceritakannya di buku ini barangkali bisa menggambarkan sikap ini. Gereja ini terletak di pinggiran Jakarta. Bentuk lahannya tidak beraturan, sempit dan memanjang dengan bentuk kipas tidak beraturan di bagian belakang. Bagian belakang ini levelnya tiga meter lebih rendah dari tetangganya, sementara sisi memanjangnya sejajar dengan sebuah jalur listrik tegangan tinggi. Menghadapi situasi ini Mamo menghilangkan batas lahannya dengan meneruskan jalur hijau di bawah jalur tegangan tinggi ke dalam lahannya dan memiringkannya ke belakang. Hasilnya sebuah bidang miring yang berfungsi sebagai atap hijau yang mengatapi ruang gereja di bawahnya. Lalu ia dengan sengaja memotong beberapa bagian dari atap hijau ini untuk memasukkan cahaya ke dalam gereja. Secara efektif ia melindungi bangunan dari kabel listrik yang secara visual mengganggu sekaligus menghasilkan ruang gereja yang unik dan mengejutkan.
Buku ini juga memuat rancangan-rancangannya untuk berbagai sayembara di dalam dan luar negeri, dimana kita bisa melihat Mamo menjelajahi issue identitas tempat, memori, dan materialitas.

Tentang Issue-issue Lebih Besar
Tinggal di salah satu kota terbesar di dunia ke-tiga dimana kota sinonim dengan masalah, Mamo bersikap sebagai seorang anarkis yang tidak bergantung pada pemerintah untuk menyelesaikan masalah. Ia yakin bahwa "...kita tidak bisa terus menerus mengkritik atau menunggu kebikjasanaan pemerintah untuk memperbaiki kota..." Ia lebih suka melihat ke dalam unit terkecil kota: individu dan sumbangan positifnya. Sebagaimana dibahasnya dengan panjang lebar di salah satu bagian buku ini, ia percaya kita sebagai individu bisa menyumbang kepada kota secara berarti dengan melakukan tindakan positif. Mengatasi kurangnya ruang hijau di pemukiman padat, misalnya setiap bangunan bisa menyumbangkan atapnya sebagai 'taman'. Gagasan sel individual ini dapat diterapkan lebih jauh lagi dalam pengelolaan sampah, serta konservasi air dan energi.
Walaupun sungkan mengakuinya, Mamo menunjukkan kecenderungan fenomenologis dalam melihat dunianya. Ia percaya bahwa inti dari arsitektur terletak pada kemampuannya untuk mewujud sebagai benda. Ini terlihat dari keyakinannya bahwa salah satu peran terbesar arsitek adalah memahami karakter lahan. Kecenderungan ini dapat dilihat juga dari kebiasaannya memanfaatkan kekasaran bahan dalam bangunannya untuk merangsang semua indera pengamat.
Secara keseluruhan buku ini bermanfaat karena ia membantu pembaca melihat hubungan antara karya seorang arsitek dengan bagaimana ia melihat dunia. Hal yang biasanya kabur dan tidak didiskusikan. Kami berharap lebih banyak lagi arsitek yang mengikuti jejaknya.



(Diedit dan diterjemahkan dari tulisan berbahasa Inggris oleh Muhammad Thamrin)

2 comments:

Anonymous said...

bukunya asik bgt!!reverensi bagus buat asitek!!!

Anonymous said...

book i like !!!!