
Belum berselang lama pada bulan Mei 2005 lalu, Bidang Keprofesian lAI DKI Jakarta mengadakan acara presentasi 'Sang Arsitek' yang diadakan di Universitas Trisakti. Kegiatan ini kiranya akan dapat bergulir terus dengan mengundang beberapa arsitek senior dan diadakan secara bergantian di berbagai universitas yang memiliki jurusan arsitektur di Jakarta.
Untuk presentasi yang lalu dihadirkan seorang arsitek yang dikenal sebagai penggiat konservasi bangunan, praktisi dan pengajar. Beliau adalah Dipl. Ing. Han Awal, lAI. Untuk mengenal lebih dalam, tim Memo-lAI menyempatkan waktu untuk berwawancara singkat dengannya.
Han Awal, semasa SMA pada mulanya sangat tertarik dengan bidang fisika. Tapi karena guru fisika di sekolahnya kurang baik dalam memaparkan pelajaran, ia beralih ke angan-angan sewaktu SD untuk menjadi arsitek. Hal ini juga dipengaruhi pekerjaan kakek beliau sebagai dekorator dan kontraktor panggung sandiwara.
Saat itu ITB [Institut Teknologi Bandung] belum memiliki jurusan Arsitektur. Kebetulan beliau mendapat brosur tentang pendidikan ahli bangunan di TH Delft, Belanda, dan akhirnya berangkat untuk mengambil jurusan arsitektur di Delft [1950 - 1957] dengan berbekal beasiswa dan restu dari Keuskupan Malang.
Di sana beliau sempat bertemu dengan rekan-rekan mahasiswa arsitek yang berasal dari Indonesia seperti Bianpoen, Soewondo, Pamoentjak dan Soejoedi. Mereka sempat berkumpul dan membuat kelompok studi bernama ATAP yang membahas masalah pembangunan di Indonesia. Mereka juga sering mengadakan pameran serta ek skursi, seperti ke Skandinavia, dan lain-lain. Ketika terjadi ketegangan antara pemerintah RI dengan Belanda mereka sempat hijrah ke Technische Universitat di Berlin, Jerman Barat.
Yang mengesankan selama proses studi di Eropa adalah kondisi sosial masyarakatnya.Beliau sempat tertarik dengan bidang antropologi kultural yang terkait dengan 'pendekatan multikultur' yang diterapkan di sana.
Arsitektur adalah cermin masyarakat. Penyerapan multikultur yang baik akan menghasilkan arsitektur dengan semangat 'kekinian tapi tetap membumi'. Karena sebenarnya arsitektur itu dapat merasakan perkembangan sosial masyarakat, termasuk pergolakan maupun ketegangan yang ada. 'Pendekatan multikultur' inilah yang hingga sekarang beliau tanamkan dalam proses perancangan arsitekturnya. Indonesia dengan kondisi multikulturnya berke¬sempatan besar untuk menjadi tempat menerapkan pendekatan tersebut.
Dalam kedekatannya dengan dunia pendidikan arsitektur, beliau mengatakan bahwa ia adalah arsitek yang ‘menyambi’ sebagai pengajar. Mulanya karena ia diperintahkan oleh arsitek Soejoedi untuk membantu mengajar di FTUI [Fakultas Teknik Universitas Indonesia] yang baru membuka jurusan arsitektur di tahun 1965. Kedekatannya dengan arsitek Soejoedi tak lepas dengan pekerjaannya saat itu sebagai asisten arsitek I dalam proyek gedung MPR/DPR (dulu Ganefo).
Tanpa adanya pengalaman yang dalam dunia mengajar memacu beliau untuk mengasah diri. Baginya mengajar merupakan hikmah yang besar, karena dengan mengajar beliau dapat tetap mengikuti perkembangan teori dan praktek arsitektur yang lebih terkini. Menurutnya, arsitek perlu juga mengamalkan pengalamannya melalui proses ajar¬mengajar ini. Walaupun tidak harus di universitas / perguruan tinggi, tapi bisa juga dengan membuat pendidikan arsitektur yang dikelola oleh organisasi profesi seperti lAI. Sudah banyak contoh dilakukan di negara lain seperti AA School di Inggris, BNA di Belanda maupun AlA di Amerika Serikat.
Setelah berprofesi selama lebih dari 45 tahun dengan ratusan projek yang sudah ditangani, terdapat beberapa projek yang beliau sukai. Antara lain Kompleks Universitas Atmajaya – di dekat Jembatan Semanggi, Sekolah Pangudi Luhur di ¬Kebayoran, Gedung MPR/DPR dan revitalisasi Gedung Arsip Nasional.
Beliau juga sempat berkomentar mengenai perkembangan arsitek maupun arsitektur Indonesia. Menurutnya, kemitraan antar arsitek saat ini semakin baik. Tidak seperti dulu, jarang ada arsitek yang mau untuk mempresentasikan karyanya di depan rekan arsitek lain, mungkin karena takut dicontek, sehingga semangat pembelajarannya terasa kurang.
Arsitek-arsitek muda sekarang seperti dalam Forum AMI (Arsitek Muda Indonesia) dinilainya memiliki ke-kolega-an yang baik. Potensi ini akan menjadi lebih baik bila dapat ditularkan kepada arsitek di luar forum tersebut.
Arsitektur Indonesia dirasakannya masih hanya mengisi kebutuhan ruang publik. Sayangnya tidak memberikan kemajuan signifikan terhadap lingkungan seputarnya, dan terasa hanya bersifat 'kosmetik'.
Masih belum ada kematangan pendekatan dalam merancang sebuah bangunan maupun kawasan.Tapi itu semua adalah proses. Semuanya akan bermuara pada cita-cita 'menuju' arsitektur Indonesia yang masih mengalir ini. Potensi multikultur harusnya dapat memberikan sumbangan yang lebih baik bagii perkembangannya.
Pada kesempatan ini, beliau juga sempat berpesan agar para arsitek mempunyai komitmen, serta menjalankan profesinya dengan baik dan jujur! Beliau sendiri dalam proses perancangan berupaya terus untuk jujur pada diri sendiri, memberikan kenyaman bagi penghuni dan merancang arsitektur yang indah (bukan cantik). Kalau bisa ..............
Ditulis oleh Aditya W. Fitrianto
1 comment:
salut buat Pak Han
Post a Comment